Perpustakaan Desa Online

  • Jul 10, 2018
  • karangrejo-bonang

Pemerintah Desa melalui visi misi kepala Desa membayangkan adanya satu perpustakaan desa sebagai jantung dari semua kegiatan komunitas. Perpustakaan desa yang dimaksudkan bukan sekadar bangunan yang berisikan rak-rak buku, juga menjadi pusat aktivitas semua warga desa. Perpustakaan menjadi community center (pusat komunitas), meeting point (tempat bertemu), juga menjadi tempat memulai dan menjalankan aktivitas. Melirik perpustakaan desa di Athens, Ohio, Amerika Serikat. Di situ, perpustakaan adalah gedung paling megah di desa. Selain ruang luas untuk buku-buku, pihak aparat desa cukup mendapat ruangan kecil untuk berkantor. Perpustakaan menjadi magnet warga sebab banyak kegiatan dilaksanakan di sana. Disana bisa menyaksikan para ibu beserta bayi datang pada hari tertentu untuk mengikuti babies stories berupa pembacaan dongeng bagi ibu dan bayi-bayi. Para ibu berkumpul, berbagi makanan dan camilan, lalu mendengarkankan pembacaan dongeng. Para bayi juga saling berinteraksi dan bermain. Perpustakaan itu menyediakan banyak mainan untuk anak-anak. Perpustakaan bukan sekadar ruang baca, melainkan ruang untuk belajar, berbagi, bermain, serta menjalankan banyak aktifitas. Di hari ketika saya berkunjung, tersedia arena bermain bagi bayi dan anak-anak, disediakan pula minuman serta makanan berupa pop corn yang gratis dan bisa diambil kapan saja, serta berbagai aktivitas lainnya. Di tempat itu, saya menyaksikan aktivitas warga usia lanjut yang berkumpul bersama demi membaca puisi atau bercerita tentang pengalaman. Suasananya sangat menyenangkan sebab semua orang bergantian membaca puisi. Para warga usia lanjut bisa bertemu teman sebayanya, bisa saling berbagi informasi, hingga saling bernostalgia atau menceritakan tentang cucu-cucunya yang sedang bermain. Dsitu juga disiappkan papan pengumuman. Di situ tertera demikian banyak kegatan di perpustakaan umum. Mulai dari latihan yoga, aktivitas merajut, latihan komputer, pembacaan dongeng, hingga melihat bintang di malam hari. Kita bisa mengadaptasi berbagai konsep bagus itu untuk membangun perpustakaan di level desa. Saya membayangkan desa-desa mengalokasikan 10 persen dana desa untuk perpustakaan dengan konsep ini. Dana desa yang cukup besar itu bisa dipakai untuk mendatangkan banyak buku-buku bagus yang berkualitas. Desa-desa akan mengoleksi khasanah sastra dunia yang hebat-hebat, juga menjadi jendela untuk melihat desa-desa di tempat lain. Dahulu, kampus-kampus di tanah air menjadi jantung pengetahuan. Tapi kini tidak lagi. Jika berkunjung ke kampus, maka bangunan paling megah adalah rektorat, yang notabene adalah ruang administrasi, yang menunjukkan orientasi kekuasaan di sana. Sungguh beda dengan kampus di luar negeri yang menjadikan perpustakaan sebagai bangunan paling megah sebab ada pertukaran ilmu di situ. Saya membayangkan desa-desa kita akan menjadi kekuatan baru dalam dunia pengetahuan melalui perpustakaan yang bermutu. Perpustakaan menjadi wadah pertukaran pengetahuan. Pada hari tertentu bisa dibuat diskusi buku atau mendengarkan pembacaan dongeng-dongeng yang dahulu dituturkan setiap malam oleh para tetua kampung. Atau barangkali dibuat diskusi atau musyawarah bagaimana petani bisa meningkatkan hasil panen. Pengambilan keputusan strategis bisa pula dilakukan di perpustakaan desa, di tengah-tengah buku bagus dan berkualitas. Tak kalah penting adalah membuat pelatihan menulis bagi warga desa. Kita bisa merangkainya dengan pelatihan membuat video dan fotografi. Tujuannya adalah warga desa mengenali potensi dan kekuatannya, kemudian bisa menyebar kekuatan itu ke desa lain. Juga warganya agar tidak ikut arus urbanisasi ke kota-kota. Tujuannya mengenali semua sudut desa, dan mendiseminasi semua informasi penting itu ke banyak titik. Tadinya saya berpikir bahwa menulis adalah sesuatu yang sulit dilakukan warga desa. Saya pernah ditantang untuk buat pelatihan menulis warga desa. Saya merancang materi yang memudahkan warga desa untuk menjadikan aktivitas menulis semudah aktivitas berbicara. Hasilnya lahir buku-buku bagus mengenai desa, yang saya yakin tidak semua orang kota bisa melakukannya. Ada bakat hebat yang tersimpan di desa-desa, yang membutuhkan ruang untuk diaktualisasikan. Buku ibarat jendela pengetahuan yang memungkinkan warga desa untuk melihat keluar dari lingkaran desanya. Buku memungkinkan perjalanan untuk menelusuri banyak tempat, merangkum ide-ide dan gagasan, lalu menghadirkan refleksi dalam diri sesudah sejauh mana jejak yang ditorehkan di kanvas sejarah. Jika saja buku-buku bagus menjangkau desa, maka betapa banyaknya inspirasi dan pengetahuan warga desa. Jika 10 persen dari dana desa itu digunakan untuk membangun perpustakaan desa, maka betapa banyaknya literasi dan pengetahuan yang akan dimiliki warga desa. Jika saja dana besar itu dipakai untuk membeli berbagai buku-buku bagus, maka betapa banyaknya perubahan yang bisa terjadi di tingkat desa. Warga desa kita bisa belajar pada desa-desa di Amerika Latin, atau desa-desa India demi mengatasi masalah yang mereka hadapi. Mungkin saja, mereka menemukan sekeping kenyataan bahwa manusia di manapun selalu bergelut dengan persoalan yang sama, dan hanya melalui pikiran kreatif, semua hal-hal berat bisa dipecahkan. Andai saja, semua desa mengalokasikan 10 persen dana desa untuk membangun kegiatan literasi, maka desa-desa tak cuma tumbuh sebagai kekuatan ekonomi, tapi juga kekuatan peradaban. Desa menjadi mata air nilai, merawat semua pengetahuan, lalu mengembangkan kecakapan warganya di banyak aspek. Melalui literasi, desa merawat pengetahuannya, merekam semua makna dan menjadikannya persembahan bagi semua warganya. Mungkin sebagian besar masyarakat menganggap ini adalah sebuah mimpi. Tapi bagi pemerintah desa merasa ini adalah tantangan. sepanjang ada niat baik dan keinginan kuat. Kita bisa memulainya dengan membangun ide melalui kata-kata. Bukankah, sebagaimana dikatakan penyair Rendra, perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata?